HENING
Hening...
Tik tak tik tak
Jam berdetak
Grasak grusuk
Tikus tikus lubangi kardus
Krik krik
Jangkrik berderik
Hening...
Angin sepoi
Langit gemintang kerlap kerlip
Bulan bulat seputih susu menggantung anggun di angkasa
Malaikat bertebaran kunjungi jemari lentik yang berdzikir
Pancarkan cahaya dari tangan yang tengadah
Hening...
Mata terkantuk kantuk
Lelah meringkus, terbaring pada punggung yang mulai renta
Setiap nafas adalah doa
Sebelum mata terpejam menagih kematian
Sambut esok hari yang mungkin saja
Hening, selamanya.
PANAH SRIKANDI
Panah Srikandi menjunjung tinggi ke angkasa
Menantang Bisma relakan jantung dipanah busur
Samar samar Bisma tatap molek Amba
Tergolek lesu mencecap aroma bunga padma
Oo... Srikandi
Bunga tumbuh dari genangan darah Kurusetra
Wanita perang molek nan perkasa
Nanar Bisma terpesona
Sang Mahawira linglung dimabuk jiwanya
Hikayat hanyalah menjadi memoria
Robohlah Bisma terhempas ke tanah
Oo... Mahawira jagat pewayangan
Kini benar benar tak berdaya
Ribuan panah Srikandi menancap tubuhnya
Jatuhlah bulir bulir air dipucuk matanya
“Maafkan aku Amba”
Ucap Bisma lirih tak berdaya.
SECANGKIR KOPI MALAM
Berselimut cangkir keramik bertuliskan “Coffee”
Sang penari balet meliuk liuk dari kepulan yang bertengger dikepalanya
Terkadang membentuk kata kata serupa bait bait aksara
Dari sebaris cahaya temaram lampu malam
Atau pada gigil pagi dari dekapan jemari.
Satu cangkir penenang
Satu cangkir hilangkan kantuk
Satu cangkir sejuta kenangan
Denting sendok leburkan pahit
Gula gula berpelukan menjadi kisah manis yang romantis
Ramalkan nasib pada ampas didasar cangkir
Harapkan cemas hilang tandas.
KEPADA ANAK KECIL BERKAKI KECIL
Kaki kaki kecil berlari lari kecil
Menentang buku leces berwarna ungu
Seragam putih ke kuning kuningan
Beralas capit dengan simpul rapia di ujungnya
Anak kecil berparas mungil
Bulan sabit melengkung di bibirnya
Bersuka-ria hanya dengan mewahnya udara yang di hirupnya
Warna warni dunia tergambar pada selaput pelangi di matanya
Indonesia sudah Merdeka anakku
Hidupmu yang carut, kau tak pernah cemberut
Sampai kapan kau terpasung di tengah mewahnya kekuasaan modern?
Sampai kapan keringatmu menafkahi dirimu sendiri?
Lantas, siapa yang peduli?
SESAL DIRI
I/
Malam gelisah
Sinar bulan brjuang menembus liang liang jendela ; berupaya mengintip
Bohlam lima watt sinari tubuh tubuh telanjang
Sepasang insan terlihat abstrak diantara remang lampu
Rambut kusut jatuh membentuk spiral di punggung penuh peluh
Adrenalin membanjiri pembuluh darah
Memcecerkan bulir bulir basah
Dengan wangi menyenangkan
Benih tertanam sempurna
II/
Celaka
Perut membuncah, ada nafas baru di dalamnya
Janin yang tak berdosa mengintip dunia dari liang pusar induknya
Janji setia hanya menjadi tugu kenangan
Yang rapuh ditinggal waktu yang membusuk
Suara kecil terngiang di telinga sang puan
“Dimana Ayahku, Bu?”
Sang puan menjerit tertahan; “Maafkan aku Tuhan!”
NASIB HAMBA SAHAYA
Bu...
Jangan rindu ya,
Rindumu menyayat kalbu
Aku disini baik
Meski panas setrika sempat menembus jantung
Anggap saja itu tatoo terindah yang pernah dibuat
Peluhku berubah darah, Bu..
Tapi aku baik
Darah ini dicampur jus tomat
Rasanya manis campur nyinyir
Punggungku alas kaki, Bu..
Setidaknya sepatu mahal, kulit buaya, kulit unta atau kulit ular berbisa
Membekaskan kelopak bunga anyelir berbentuk tinjuan merah jambu
Aku baik, Bu..
Ranjangku megah
Aku tidur bersama anjing anjing kesayangannya
Terkadang mereka menari diantara gigil dan gemeretak gigiku
Yang mereka anggap sebagai kolaborasi suara musik acapella
Aku pasti pulang, Bu..
Jangan dulu mencari lahan kosong untuk pembaringanku
Kamar pengantin masih menantiku.
SEPUCUK PESAN KEHILANGAN
Sayang,
bagaimana mengucapkannya
Dingin kali ini melumerkan keberanianku
Ia membendung di tenggorokanku
Suaraku tetiba kering, sulit memulainya.
Sebaiknya,
Pulanglah pada ruh cintamu
Aku hanyalah tulang rusuk
yang memaksa masuk di sekat sekat dadamu
aku tau, sebenarnya bukan aku nafas yang kau hembus
aku tau semuanya, sayang.
Namun salahkah jika selama ini aku berlaku dungu?
Ketika sepasang tanganmu bukan untukku
Atau jari manismu yang sudah terlingkar janji
Yang setiap kali mendesis desis seperti medusa
dan berusaha membekukan tubuhku
saat kau lingkarkan tanganmu di pinggangku
aku menyayangimu,
namun aku bukan dia.
Parau tangisku menentang nestapa
Namun biarkan aku tersenyum bahagia
Pada luka yang menganga.
PADA MALAIKAT BERHATI BANGSAT
Gigi gemeretak
Anjing anjing liar menyalak galak
Sang iblis bertengger di kepalanya
Panas membakar, membuncahkan isi kepala
Kidung malam menyayat nyayat isi dada
Telantarkan saja aku menjadi budak hamba sahaya !
Tampar pipi ku biarkan darah mengalir dari mulutku
Dan sesap oleh nafsumu yang membuncah
Robek dadaku buraikan isi di dalamnya
Lempar pada anjing liar yang kelaparan
Semangatku luntur, Tuan
Kau hancurkan segala harap menjadi siksa yang menderap
Ikostensimu berlebihan, bias munafik tertata apik
Mulut manismu terkontaminasi ampedu
Dengan rasa pahit yang paling pahit
Sesalpun percuma
Aku hanya sang puan
Yang buta melihat malaikat berhati bangsat
CERITA RINDU PADA SENJA
Matahari mendadak hilang
Ntah apa yang menelannya
Sekejap ia melesat bertransfortasi menjadi cahaya jingga
Mengantarku pada senja yang berwarna
Sore yang sempurna
Siluet jingga mengalir masuk ke beranda
Pantulkan cahaya yang mengkristal
Dari secangkir kopi diatas meja
Kepulannya turut gerak dengan rindu
Yang berburai
Aku tenggelam diterbangkan angan
Kenangan menyusup di setiap tegukan
Melanglang pada waktu yang kutunggu
Untuk besok bertemu denganmu
Menghapus jemu.
AKU PENYIAR BUKAN PENYAIR APALAGI PENYIHIR
Kata kata meluncur dari lidahku
Bermain main dengan intuisi dan imajinasi
Mengukir sebuah aksara menjadi tema yang ceria
Biar suara saja yang kau dengar, jangan hatiku apalagi wajahku
Nikmati saja setiap kata yang kutitip pada bunyi
Tapi ingat,
Aku penyiar, bukan penyair
Ku racik semua sendu kedalam senandung rindu
Mengikis segala hasrat yang tersirat dalam benak
Menyihir waktu menjadi lagu
Menghipnotis suaraku
menjadi bayangan perempuan lugu
Tapi sekali lagi ingat
Aku penyiar, bukan penyihir.
Temanku hanyalah mikrofon, mixer dan perangkat audio
Yang terbiasa denganku,d engan suaraku, bahkan dengan tangisanku
yang menginterupsi dibalik lantunan lantunan
Isakan bukanlah alibi untuk tak bahagia
Karena aku penyiar
Perempuan gila yang bermain main dengan intuisinya
Di ruangan kedap suara berlabel “ON AIR”