Jumat, 07 Maret 2014 - 0 komentar

Kelopak Sakura Layu di Wadah Bento

Tokyo, 2010

Kita kehabisan nafas untuk saling bercengkrama tentag sunset di atas gedung Kota Yokohama
ataupun ber-Hanami bersama menghabiskan bento pada musim sakura di taman Shensinan Kyoto.
Tiba-tiba saja setangkup kenang masih kita bawa dikepala masing-masing
lantas kau hilang di persimpangan jalan
seumpama kelopak sakura yang putus asa
terhuyung-huyung jatuh pada tanah basah
: dan aku tak memungutinya, tak mencarimu lagi.

Majalengka, 2011

Sudah satu tahun, kau tetap muncul di setiap bayang-bayang semu yang selalu ku coba untuk menutupnya
kita sudah berlainan; tanpa pesan
aku sudah nyeri
maaf, ku abaikan kau berkali-kali

Majalengka, 2012

Ah... apa maumu?
Telingaku tuli mendengarmu kembali
begitu pula mataku, ia sudah buta melihat wajahmu
akupun sudah asik dengan sajak yang ku guratkan di tubuh lain
setelah beberapa bait haiku yang ku ciptakan untukmu kau basuh dengan air hujan di senja Tokyo musim lalu
hingga tintanya menggenang di mata kaki
sajak-sajak ku kini rampung di sekujur tubuh pria lain
setiap kali ku membacanya, tiap kali pula aku kehilangan ingatan tentangmu
jadi, apa lagi yang kau tunggu?
aku benar-benar sudah lupa

Majalengka, 2013

Aku lebih banyak lupa
dan kau, masih menarik-narik memori agar aku menoleh kearahnya
seharusnya kau tau; kuncup sakura sedang mekar di pohon yang lain.

Majalengka, 2014

Malam hanya seutas sepi yang bergelantungan di wajah-wajah buram
hanya tarian dari kepulan teh hijau hangat pada cangkir yang retak di bibirnya
mungkin, sunyi begitu meronta-ronta di dadaku
setelah akhir tahun lalu sajak-sajak ku padam
larut bersama musim hujan yang meriuh
hasilkan telaga aksara yang acak.
Kau datang legi,
begitu rutinnya, hingga aku bosan mengenalmu sebagai seseorang yang tak asing lagi.

: baiklah, aku menyerah, Koichi...
apa yang ingin kau sampaikan?

lantas kau menjawab : "Putuskan Aku"

Seranum sakura melintas di penciuman
ku buka wadah bento empat tahun lalu
lembaran kelopak layu tertinggal disana
pergilah...
maaf, aku lupa membuangnya.
Jumat, 07 Maret 2014 - 0 komentar

[Hampir] Patah Hati

Masih tentang kamu, Zy...
hampir tiga pekan aku mengenalmu
dan tiga kali pula ku tengok almanak di dinding kamar dengan tanggal-tanggal hitamnya yang semakin menua
sejak temu singkat dibawah langit jingga lalu
sudah setengah laman kutulis sajak tentang dirimu
sampai akhirnya kutau,
setiap kata yang kutulis hanyalah menjadi gerimis yang jatuh di telapak tanganku
lalu lenyap menguap di lesung langit
menjadi pelangi yang hanya bisa ku lihat sendiri

Malam kedua stelah pertemuan itu
langi sunyi terlecut kabut malam kalut
suaramu menjadi desas desis angin dingin ditelingaku
kita bicara seakan lidah kita kaku
masing-masing memaknai kata yang terucap kelu
sesekali menelan udara resah yang melesap pada keheningan yang semakin membeku
suaraku tertohok di tenggorokan saat rindu terkibas menjadi sendu

Dan kau, Zy...
Hanya bisa menghitung gerakan dada dari setiap nafas yang ku hembus percuma; sajak-sajakku telah kehilangan separuh tentang dirimu.
Aku tak pernah bosan mempertahanken hangat dirimu di sekat jantungku, namun katamu ini hanya rasa yang mengganggu; kau ucap lirih seumpama lagu kematian di ujung pelepasan
lantas kita saling terdiam, dan begitu terasing

Tak apalah, Zy...
Setidaknya kita pernah sama-sama menahan rasa rindu,
walaupun pada akhirnya tak melulu menggebu
saat sisa-sisa temu hanya menjadi remang-remang lampu.
Jumat, 07 Maret 2014 - 0 komentar

Segelas Hujan

Aku pernah berjanji menuliskan sesuatu untukmu, Zy
setelah sepekan kita saling menuliskan sajak di langit biru tua
ya...hampir tiap hari.
Sampai akhirnya ada temu di setiap rindu yang sempat berjejelan dikepala kita

Tak disangka ya, Zy.
ternyata tak ada gugup hingga waktu menguning
bahkan senja menyaksikan deraian tawa renyah seumpama suara reranting patah.
juga hati kita yang rusuh di gelas kopi,
menutup kesunyian dibalik riuhnya hujan seadanya.
lalu kau memainkan alat musik bambu dengan senar tali pancing kesayanganmu
lantas kata-kata berloncatan dari bibirmu
menambah gemuruh jantungku semakin tak beraturan
sesekali senja membuat kita mencuri hangat pada jemari kita yang terkesan malu untuk saling berpagut.

Detik jam terasa semakin cepat
langit sudah berubah warna
siluet cahaya jingga kau endapkan di matamu
hingga tak kuasa aku menoleh kearahmu,
aku hanya takut, Zy...
takut setiap kali aku mengingatnya, aku akan gelisah dirasuki bayang-bayang bening matamu
kau ingat, Zy...
sepasang tanganku yang melingkar di pinggangmu?
dan anehnya aku merasa betah menikmati gigil dingin yang merangkaki udara seusai hujan.

Saat langit berubah keabu-abuan
kita berjalan beriringan mencipta tapak kenangan yang mungkin kelak bisa kita bagikan
banyak kata yang tak bisa diucapkan,
juga rasa yang tak bisa di ungkapkan.
Aku hanya ingin menjadi bagian dari setiap tombakan hujan, dedak di kopimu, atau lirik di setiap lagu yang kau ciptakan.
Aku wanita peramu kata, sedangkan kau lelaki pecinta suara,
barangkali kau akan menemukanku diantara rindu-rindumu yang tersasar; kelak,
atau mungkin akan hanya menjadi kenangan yang karam di ingatanmu
Seumpama lembaran-lembaran sajak yang kehilangan aksaranya